Juga terkait begitu mudahnya mengantongi kartu pers sebagai simbol serta legalitas dengan julukan “wartawan” . Seperti yang terjadi saat ini asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan atau seorang jurnalis. Terlebih, jika mereka ada sedikit modal “berani” bermanuver kelapangan tidak pelak waktu tidak menjadi persoalan. Dalam hitungan menit kesepakatan terjadi, meskipun awam dalam keilmuan jurnalistik merekapun dibuatkan kartu pers untuk modal katanya “liputan”. Memang cukup sederhana bukan prosedurnya..? Akan tetapi kita kembali pada fitrahnya bagaimana seorang wartwan mengemban amanahnya sebagai basic kontrol sosial masyarakat. Atau bagaimana fungsi wartawan..?, secara umum makna dari wartawan adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan dan dimuat di media massa secara teratur. Laporan tersebut lalu dapat dipublikasi kedalam media massa seperti koran, televise, radio, majalah dan internet. Dan paling spesifik mereka diharapkan mampu menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.
Akan tetapi kenyataan dilapangan seperti yang terjadi di wilayah Ngawi, perekrutan wartawan masih jauh dari standart professional wartawan. Kenyataan tersebut berbalik dari media-media yang mapan dan mempunyai nama, untuk menjadi wartawan tidak suatu barang “mudah” melainkan harus melewati prosedur dalam arti kata mampu mencerna kode etik jurnalistik dan pemahaman terhadap Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Maka secara jujur apabila boleh ditanya dan dijawab, bagaimana kompetensi para wartawan yang kerap kali beroperasi di wilayah Kabupaten Ngawi. Dari berbagai uraian diatas, bisa saja dimaklumi kalau dikemudian hari dalam dunia pers muncul dengan istilah “wartwan beneran” dan “wartawan bodrexz”. Dan yang terakhir kalinya orang-orang yang menamakan dirinya masuk kedalam komunitas pers tetapi sepak terjang malah mencemari nama baik insan pers situ sendiri.
Pada akhir-akhir ini keberadaan wartawan bodrek memang tak bisa dipandang sebelah mata. Secara nyata, mereka dalam kategori bodrek juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan sebenarnya. Kategori semacam ini apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak merupakan sudut pandang lain. Dengan demikian rasanya sulit untuk tidak memposisikan mereka kedalam komunitas wartawan. Memang cukup ironis, kehadiran wartwan bodrek bukan cerita anyar yang baru diangkat oleh berbagai pihak. Dalam kancah pers nasioanal sendiri, bukankah dari dulu sudah bermunculan wartawan bodrek yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers sendiri. Memang terkadang kaum intelek sendiri sulit membedakan keberadaan wartawan bodrek dan yang beneran. Kemungkinan besar karena jumlah personel wartawan bodrek makin hari kian menjamur.
Kenyataan yang demikian peliknya terhadap konsekuensi wartawan tidak lepas dari pasca reformasi 1998. Dimana birokrasi yang mempunyai control terhadap keberadaan media pers dengan longgarnya memberikan ruang kerja. Boleh dikata tanpa legalitas secuwilpun langsung muncul begitu saja, malah terkesan menyampingkan Idialisme pers sendiri. Fakta hasil uraian diatas wartawan-wartawan yang tidak berkompeten dan tidak beretika mendasar kode etik jurnalistik maka akan terseleksi secara alamiah. Pemahaman kedua hal yang menyangkut bagaimana wartawan tadi sebagai acuan birokrasi atau khalayak publik untuk berinteraksi dengan wartawan.
Ditulis : Purwanto
Pimred Sinar Ngawi.
1 comments:
Ya....begitulah mas dengan status "wartawan" meski bodrexz bisa mudah untuk dapat uang dan tetap terhormat....kalo pengemis kan gak punya katu anggota gak keren dan gak terhormat....
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda