Dalam konteknya, reformasi tidak ubahnya sebuah era pendustaan yang makin terlihat jelas sesuai umur dari reformasi sendiri. Kalau kita mendengar kata hati boleh dibilang betapa susahnya mencari orang jujur di jaman reformasi, dimana tanpa kita sadari manusia saling kasak kusuk dengan saling intip mengintip, saling curiga mencurigai satu sama lain. Ketidak kemampuan berpikir obyektif serta susahnya menemukan jati diri dalam mengemban amanah rakyat, karena didahului perasaan was-was terhadap orang disekelilingnya. Nah, persoalan antara dua pihak yakni rakyat dan pejabat yang sangat multi komplek akan sangat rentan ke titik terendah “Mosi Tidak Percaya”.
Tudingan rakyat yang makin mengerucut bahkan sangat konstruktif akan sampai pada muara kalimat betapa susahnya menemukan manusia jujur di era reformasi. Kedudukan menuju ranah kekuasaan di negeri ini kerap kali melalui kanal politik. Satu persoalan antara politik yang lekat dengan politisi dan politikus, mereka cukup elegan mengumbar janji manis atau janji busuk demi mengarah kedudukan yang prestisius tanpa mengindahkan persoalan rakyat yang sebagaimana mestinya. Sebenarnya rakyat hanya butuh kejujuran, muak gombalan-gombalan dari sang pemimpin bukan dari sang pemimpi untuk negeri.
Terus bagaimana rakyat mengimplementasikan makna demokrasi sesuai sistemnya. Bagimana rakyat menyikapi pengatur gerak roda yang makin bobrok dilindas kepentingan tertentu. Yang perlu kita ingat dicatat atau tidak, menjelang pergeseran pemimpin apa yang selalu didengar, dilihat dan dirasa oleh rakyat. Suatu ketika calon-calon pengemban amanah rakyat memainkan lidahnya di areal public seperti media massa dan elektronik tidak ada satupun kata yang terlontar sesuatu yang lemah melainkan kedigdayaan dirinya menahkodai negeri.
Aksi penghipnotisan dari sang pemimpin yang memimpikan rakyat menuju alam adil makmur hanya sepersekian detik saja. Bukti, sudah berapa kali para pemimpin berjanji akan memberantas korupsi yang menelantarkan nasib rakyat. Sesuai kenyataan malah berbalik, makin suburnya aksi pencurian uang rakyat sesuai motifnya dan seakan mereka kebal terhadap hukum karena beranggapan pasal demi pasal bisa dibelinya. Masalah korupsi di negeri ini sudah seperti benang kusut yang susah diuraikan dan dipilah.
Sejak memasuki zaman reformasi hingga saat ini, Indonesia tak pernah sepi dari berita korupsi yang tersaji di halaman utama berbagai media. Mungkinkah oleh para koruptor dimaknai sajian hangat bagi pembacanya lepas dari layak atau tidak. Tahun demi tahun berganti, demikian juga tampuk kepemimpinan pun terus berganti, namun masalah korupsi tidak pernah terkikiskan. Irama laju kebusukan pejabatpun mulai melebar dari masalah korupsi pusat yang bak tidak ada ujung pangkalnya, kini justru ada sajian baru dengan mencuatnya kabar mark up dana APBD di berbagai pemerintah daerah. Sudah kroniskah moral pejabat kita?
Memang kejujuran bisa disebut “benda termahal” untuk saat ini, bila menyikapi kebusukan pejabat yang lekat dengan korupsi namun bukan arti kata pukul rata terhadap predikat untuk para pemimpin. Yang paling menarik, Saling lempar pernyataan tentang korupsi berujung dengan pro kontra dari pernyataan tersebut.
Yang pihak satu menyalahkan yang ke pihak lain, dan yang disini menyalahkan yang disitu. Terlebih lagi sekarang media bagaikan ajang pertarungan jadi hematnya begitu masuk media maka ancang-ancang saja diadu dengan yang pihak lain. Menurut dari pemikiran saya semuanya sudah melampaui batas etika. Bebas dialam reformasi memang bebas tetapi bebas bukan kebablasan dengan seenaknya kehendak tanpa memperdulikan batasan yang ada.
Sebelumnya saya punya perasaan tidak jujur terhadap kemauan saya sendiri, ingin menulis artikel yang baik itu bagaimana ? dan bagaimana pula nanti artikel yang saya tulis tidak berimbang dengan dituding mengadu domba. Padahal sesuai kemauan yang saya cermati dari hari ke hari negeri yang makmur ini tidak hanya domba saja yang bisa bersuara. Maka dari pencermatan artiklulasi yang sebenarnya dari sajian saya, rakyatlah yang sebenarnya menjadi tuan dari pemegang kedaulatan tertinggi dan bukan….!!! Sebagai pelayan pemimpin busuk.
Di Tulis : D.Purwanto
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda