Seperti yang dirasakan Suwito (60 th) salah satu pengrajin tatah sungging wayang dari Desa Dumplengan, Kecamatan Pitu. Meskipun usianya mulai beranjak senja dirinya mengaku tetap eksis berkarya sebagai pengrajin wayang kulit dari tahun 1980. "Kalau bicara soal rame dan tidaknya pesanan memang untuk akhir-akhir ini jauh dari tahun sebelumnya misalkan era tahun 1990 an, saat itu jumlah pesanan rame-ramenya tapi untuk saat ini kita membuat wayang hanya berdasar pesanan saja yang jumlahnya hanya satu dua," kata Suwito.
Semua hasil karya wayang kulit yang dikerjakan Suwito terlepas dari pangsa pasar yang mulai menurun, dirinya tetap bertahan sebagai langkah untuk melestarikan budaya Jawa yang mulai terkikis dengan budaya lainya.
Tambahnya, kerajinan yang dikerjakan selama initerutama wayang kulit adalah kerajinan yang memadukan seni dan sejarah wayang kulit. Ini dikarenakan untuk membuat wayang kulit diperlukan proses yang panjang mulai penjiwaan terhadap seni itu sendiri dan rasa kecintaan yang tinggi dengan cerita pewayangan.
"Mungkin kalau berkarya sebagai seniman wayang hanya mengejar penghasilan saja tanpa didukung rasa memiliki terhadap budaya pewayangan, mungkin tidak terlalu lama budaya tersebut akan musnah," beber Suwito dirumahnya.
Kebanggan lainya yang dimiliki Suwito sebagai pengrajin tatah sungging wayang kulit tidak lepas dari salah satu warisan leluhur yang adiluhung khususnya dari Kraton Yogyakarta. Dengan demikian diharapkan menjadi contoh warisan yang dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan keberadaan wayang kulit khususnya dan sebagai identitas masyarakat Jawa.
"Yang kita kerjakan ini untuk wayang kulit sendiri berdasarkan cerita saat kejayaan Kerajaan Majapahit yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata, berangkat dari cerita tersebut maka dapat kita sebut budaya Jawa ini terutama seni pewayanganya merupakan cerita yang luhur terhadap kehidupan manusia dari berbagai sisinya," tandasnya.
Selanjutnya Suwito menceritakan proses pembuatan wayang kulit sampai dirinya mencari bahan baku kulit sapi ataupu kambing. Kulit yang digunakan untuk membuat wayang kulit terdiri dari beberapa macam, yaitu kulit mentah dan kulit split. Kulit mentah adalah kulit yang langsung digunakan untuk proses pembuatan wayang kulit tanpa melalui proses kimiawi.
Sedangkan kulit split adalah kulit yang sudah melalui proses kimiawi di pabrik. Kulit yang digunakan untuk membuat wayang kulit biasanya berasal dari kulit kerbau, sapi, dan kambing. Sebagian besar kulit diperoleh dari daerah Magetan.
Untuk pengolahan kulitnya sendiri Suwito harus memproses dari awal misalkan harus direndam terlebih dahulu dengan air selama satu hari sampai lunak. Kemudian direntangkan atau dipentangkan dengan menggunakan tali dan pigura kayu yang kuat. Selanjutnya kulit tersebut dijemur di bawah terik matahari sampai benar-benar kering. Kulit yang sudah kering segera ditipiskan dengan cara dikerok. Bagian yang dikerok adalah bagian rambut (bagian luar) dan sisa-sisa daging yang masih melekat (bagian dalam).
Selanjutnya pembuatan wayang kulit ini dimulai dari menggambar pola wayang di atas kulit sapi atau kambing yang telah dipilih kemudian menggambar sesuai pola dari wayang yang dimaksud. Disusul dengan proses penatahan kemudian gambar yang telah tertatah dilanjutkan dengan proses pengecatan dan dikeringkan.
Mengenai omzet setiap harinya Suwito mengaku mendapatkan Rp100 ribu sampai Rp 250 ribu tergantung jenis wayang yang dipesan dari konsumen. "Apabila tidak ada pesanan ya kita nganggur, kalau zaman dulu kita dipesan untuk membuat wayang satu set biasanya untuk pagelaran tetapi saat ini hanya dapat pesanan paling-paling untuk hiasan dinding," pungkasnya.(pr)
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda