Ancaman molor pelaksanaan pilkades tersebut disampaikan Kabul Tunggul Winarno, Kepala Bidang Pemerintahan desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPM dan Pemdes) Ngawi.
Pada dasarnya urai Kabul, pihaknya belum berani mengambil sikap tentang penentuan pelaksanaan pilkades lantaran terganjal tarik ulurnya pengesahan UU Desa yang sudah masuk Draf di meja DPR RI. “Secara jelas kita belum berani mengatakan kapan akan digelar pilkades tahun ini dan masih menunggu kejelasan dari UU Desa itu disahkan apa tidak,” tutur Kabul Tunggul Winarno, Selasa (22/1).
Polemik tersebut menurut pihaknya suatu ganjalan berat termasuk nasib status 178 kepala desa yang tersebar di 19 kecamatan. Tegasnya, seandainya saja menyesuaikan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa maka pihaknya sudah bisa merencanakan tahapan pilkades. Terlebih pada tahun ini anggaran pilkades sendiri sudah disiapkan sebesar Rp 2 miliar lebih bersumber APBD 2013.
Dana miliaran tersebut kata Kabul sesuai perincianya digunakan untuk biaya ongkos menuju bilik pilkades setiap jiwa pemilih yang terdaftar di DPT senilai Rp 2 ribu dan subsidi pembiayaan pilkades Rp 7 juta masing-masing desa.
“Seandainya saja pilkades terjadi pada tahun ini sesuai aturan lama maka kita sudah siap dengan anggaranya, toh kalau terpaksa molor menyeberang ke tahun berikutnya maka akan kita kembalikan ke kas daerah,” katanya.Sebagai pelaksana daerah terhadap proses pilkades memang dianggap simalakama terhadap molornya pembahasan UU Desa.
Kabul mencotohkan, kalau pilkades dilaksanakan sesuai penjadwalan yang ada sampai sejauh ini belum ada yang mempertanggungjawabkan dalam arti masa transisi dari PP No 72 Tahun 2005 ke UU Desa. “Misalkan, pada pertengahan tahun ini kita ngotot mengadakan pilkades terus selang satu atau dua bulan kemudian UU Desa disahkan maka akan terjadi rancu dilapangan,” ulasnya lagi.
Hematnya, kepala desa yang jadi sesuai pilkades tersebut jelas sesuai ketentuan hukum keberadaanya legal sedangkan kepala desa yang sudah turun jabatanya sesuai ketentuan serta mendasar aturan lama dengan munculnya pengesahan UU Desa bisa jadi sama-sama legal.
“Karena di draf UU Desa itu ada hal hal yang berkaitan dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak Kepala Desa. “Misalkan dalam UU Desa masa bakti kepala desa di sahkan menjadi 8 tahun dari 6 tahun maka kepala desa yang turun jabatanya tersebut jelas menuntut sesuai ketetapan tersebut, jadi perkaranya UU Desa ini molor disahkan menjadi keluhan kita,” pungkasnya. (pr/K_sn)
2 comments:
Masa Jabatan Kades tentu tetap mengacu atas UU sebelum masa berakhirnya jabatan, yakni 6 tahun. Kemudian aturan (UU Desa bila disahkan) untuk diberlakukan bagi Kades terpilih. UU Desa dibentuk untuk mengatur masa jabatan periode berikutnya. Ulasan saudara Kabul tidak ada ketegasan. Peraturan TIDAK berlaku surut.
Pemkab atau pemdes seharusnya mengikuti saja proses yg saat ini ada, kalau memang masa jabatan kades habis ya segara laksanakan pilkades. RUU DESA yg saat ini belum disahkan biar itu urusan pem pusat dan DPR, yg didaerah ikuti dulu peraturan yg sudah ada, jangan malah membuat interpretasi sendiri.
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda