“Ya baru hari ini kita merayakan lebaran dan memang setiap tahun berbeda dengan penetapan oleh pemerintah karena perhitungan kita ini terhadap jatuhnya 1 Syawal sudah terjadi secara turun temurun,”terang Mahmudi, salah satu orang yang mengaku warga setempat yang beraliran Islam Aboge.
Kupasnya, dengan perbedaan pandangan tersebut dia berharap tidak menjadi perpecahan umat Islam pada umumnya. “Kita hanya meminta perbedaan pandangan ini dapat dimaklumi oleh semua pihak baik pemerintah sendiri,” katanya.
Kemudian dari penelusuran media setelah melaksanakan Sholat Ied para jamaah ini seperti biasanya mengadakan syukuran atau kenduri dengan masing-masing jamaah membawa nasi komplit lauk pauk serta beberapa makanan lainya.
Acara dilanjutkan dengan saling bersilaturahmi antar jamaah maupun sanak familinya dengan berkeliling kampung bentuk kerukunan antar mereka.
“Beginilah kalau warga sini merayakan lebaran selalu keliling dari rumah ke rumah untuk berjabat tangan bermaaf-maafan, pokoknya meriah karena sanak famili yang jauh juga kumpul,” ungkap Suharno.
Secara spesifik Islam Aboge sesuai perhitunganya seperti penjelasan Suratno, (57), warga Desa Umbulrejo, Kecamatan Jogorogo, dalam menentukan jatuhnya 1 Syawal dengan memakai rumus Waljiro (Syawal Siji Loro).
Rumus Waljiro ini dimaknai sangat berbeda dengan penanggalan lainya yakni penentuan 1 Syawal jatuh pada hari pertama pasaran kedua sehingga tepat pada Jum’at Kliwon bukan Kamis Wage satu hari sebelumnya.
Beber Suratno, lebaran setiap tahunya lebih maju satu hari dari lainya disebabkan jatuhnya 1 Syuro (Muharam) pada tahun ini jatuh pada Jum’at Wage hal itulah yang menjadi patokanya mendasar hari dan pasaran pertama bilamana terjadi di tahun Jimakhir.
“Tradisi ini sudah dilakukan dari dulu sesuai keyakinan kita dan bukan sekedar mencari sensasi atau lainya, perlu diingat tujuan utamanya ukhuwah islamiyah,” pungkasnya. (pr)
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda