Abdul Baits salah satu peserta hearing menyayangkan mekanisme pembuatan Raperda, dimana terkesan formalitas dan kecenderungan copy paste.
“Tahu tidak, dalam beberapa draf ditemukan beberapa item yang tidak bersinergi dengan keadaan serta kondisi Ngawi sendiri contohnya tentang difinisi cagar budaya seharusnya diubah menjadi kepurbakalaan,” terangnya.
Dia juga menganggap public hearing pembahasan reperda tersebut tidak lebih hanya dilakukan hanya sekedar memenuhi prosedur dan dilaksanakan tanpa memenuhi standar akademik yang wajar dan kompeten.
Nada serupa juga dilontarkan Nur Wahyudi seorang pengamat sosial dari Ngawi sesuai komentarnya, pembahasan raperda yang dilakukan Banleg DPRD Kabupaten Ngawi tidak lebih hanya menyesuaikan dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Sementara Pembahasan Raperda meliputi Jam belajar bagi pelajar di lingkungan masyarakat, Pelestarian cagar budaya dan seni budaya tradisional, Pengelolaan pasar daerah, Penyelenggaraan komunikasi dan informatika dan terakhir Penyediaan lahan prasarana lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial oleh pengembang kabupaten.
Sarjono Ketua Banleg DPRD Kabupaten Ngawi mengatakan public hearing tersebut diharapkan secara maksimal dapat menyerap masukan dari publik terkait konsep draf peraturan daerah tersebut. Sehingga hasilnya nanti akan memberikan manfaat positif kalangan masyarakat dengan tidak meninggalkan akar permasalahan yang terjadi di Kabupaten Ngawi.
Diungkap juga oleh Anton Budi Himawan salah satu anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Ngawi yang memediatori dari raperda pembahasan penyelenggaraan komunikasi dan informatika menjelaskan pihaknya mengakui saat ini kejelasan hukum khususnya menara BTS memang harus gamblang. (Pr)
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda