PADANGPANJANG™ Rumah Budaya Fadli Zon yang berhadapan dengan Rumah Puisi Taufiq Ismail, Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Rabu (30/10), menggelar pemeran lukisan tunggal karya perupa A. Arifin bertajuk “Re-Inventing Minangkabau”.
Sebanyak 40an lukisan beraliran Mooi Indie (Hindia Molek) karya perupa A. Arifin dipamerkan dan dibuka secara resmi oleh Budayawan dan Kolektor Seni Rupa E.Z. Halim.Pameran itu dihadiri seratusan seniman, budayawan, peminat seni lukis, mahasiswa, guru dan pelajar di Sumatera Barat. Pameran dikuratori Dio Pamola, kurator asal Kota Yogyakarta.
Menurut Fadli Zon, pendiri Rumah Budaya, dalam sejarah seni rupa di Tanah Air, ada aliran Mooi Indie (Hindia Molek) yang ditempatkan sebagai warisan kolonial. Lukisan tentang alam yang indah, damai, harmonis dan romantik merupakan kreasi penjajah.
“Mooi Indie diawali lukisan-lukisan Raden Saleh (1814-1880) yang terpengaruh Eugene Delacroix, pelopor aliran romantisime Perancis. Setelah Raden Saleh ada Mas Pirngadie, Abdullah Soejosoebroto, Basuki Abdullah, dan tentu saja Wakidi di Sumatera Barat,” ujar Fadli Zon yang juga kolektor lukisan-lukisan karya perupa ternama Indonesia.
Diungkapkannya, lukisan-lukisan dengan aliran Mooi Indie tetap diminati di Indonesia. Landscape yang indah, gunung-gunung menjulang, bukit berbaris, hamparan sawah, kerbau mandi di kubangan, lapau, dan perkampungan khas Minang tetap menjadi obyek lukisan yang menarik.
“Dalam lukisan Mooi Indie, selalu terkenang gunung dan bukit yang mengelilingi, penduduknya yang suka bergotong royong, susah dan senang dirasakan bersama. Inilah Mooi Minang, kemolekan Minang. Selalu ada romantisme,” papar Fadli Zon.
Sementara menurut Kurator Dio Pamola, beberapa tahun terakhir, karya A. Arifin sempat tidak muncul di ruang pameran dengan beberapa penyebab. Meskipun tidak berpameran, studio A. Arifin tetap dipenuhi aroma cat minyak yang cukup menyengat hidung.
“Proses melukis dilakukannya setiap hari, siang dan malam untuk menyalurkan energi dan hasrat yang kuat atas imajinasinya. Arifin tidak hilang namun masih bereaksi di studio dalam komunikasi dengan media seninya,” katanya.
Dia menyebutkan, nama A. Arifin sangat kuat melekat di kalangan seni rupa di Sumatera Barat. Pengaruh Arifin bisa dilacak. Sosok seniman ini sangat menginspirasi kalangan seniman, baik secara edukatif akademik maupun inspiratif secara kekaryaan.
“Gagasan yang ditampilkan secara visual oleh Arifin, melihat kecenderungannya memiliki ruh romantisme yakni aliran seni yang tidak berurusan sama sekali dengan suatu corak, sebab kepentingannya hanya dengan sikap batin yang melandasi suatu karya, dan bisa diproyeksikan pada segala macam gaya,” tambah Dio Pamola.
Pelukis A. Arifin lahir di Bukittinggi, 22 Desember 1943, adalah salah seorang pelukis yang mengikuti jejak Wakidi. Ia adalah pelukis otodidak, alumni Sekolah Teknik di Padang dan pernah mengajar di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa). Aktif melukis sejak 1975, A. Arifin menjadi pelukis senior di Sumatera Barat. Karya-karyanya mempunyai nilai artistik tinggi. Salah satu perupa Minang terbaik mewakili aliran Mooi Minang dengan goresan impresionis-ekpresionis.
“Arifin adalah mutiara yang terpendam. Mungkin selama ini tak ada kesempatan untuk tampil lebih depan dalam pentas seni rupa Indonesia. Apalagi di tengah eforia seni kontemporer, karya Arifin seperti salah waktu. Namun setelah melihat karya-karyanya, saya yakin karya Arifin tak akan tenggelam oleh zaman. Bukan menjadi gejala sesaat. Bahkan bisa lebih bertahan untuk masa yang panjang,” ujar Fadli Zon.
Sementara itu, Direktur Rumah Budaya Fadli Zon, Elvia Desita, mengatakan, di Rumah Budaya telah beberapa kali diadakan pameran lukisan, baik tunggal dan bersama. Kali ini Rumah Budaya memamerkan secara tunggal karya-karya perupa A. Arifin.
Dia menjelaskan, Rumah Budaya Fadli Zon diresmikan pada 4 Juni 2011 dengan cita-cita Fadli Zon untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai "kantong budaya". Terdapat setidaknya lebih dari 100 keris Minangkabau yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera Barat selama bertahun-tahun yang akhirnya dipajang di Rumah Budaya Fadli Zon.
Selain itu, ada 700 lebih judul buku bersejarah yang bertemakan Minang, dan barbagai koleksi peninggalan sejarah kuno, seperti Keris Luk Sembilan asal Pagaruyung yang dibuat pada abad 18, songket lama, serta sejumlah lukisan kuno. Termasuk fosil kerbau berusia dua juta tahun dan fosil-fosil kayu yang telah menjadi batu dan menjadi koleksi di Rumah Budaya itu. (REL)
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda