NGAWI™ Tingginya harga kedelai yang masih saja bertengger dikisaran Rp 8.800 per-kilogramnya, membuat bumi keripik, Ngawi Jawa timur lesu produksi. Bahkan beberapa produsen rumahan yang tersentra di dusun Sadang, Desa Karangtengah Prandon-Ngawi kota pilih tutup atau mengurangi jumlah produksi sambil harab cemas menunggu harga normal kembali.
Lesunya usaha yang sudah digeluti beberapa tahun tersebut ujar Puji, tidak lepas dari harga kedelai yang makin menjauh dari harga normalnya Rp 6.400 per kilogramnya
“Selaku pengrajin tempe keripik jelas menanti kepastian harga yang ditetapkan pemerintah itu namun kenyataanya harga kedelai masih mahal,” terangnya, (11/10).
Bebernya, sebelum adanya pergerakan harga yang merangkak naik satu bulan sebelumnya Puji mengaku dalam per harinya mampu produksi tempe keripik hingga 35 kilogram kedelai sebagai bahan baku.
Setelah diproses, bahan baku sebanyak itu menghasilkan 70 sampai 80 bungkus keripik tempe yang dikemas plastik yang diberi kode PIRT.21535210184. Apalagi, bahan lain untuk memproduksi keripik tempe seperti minyak goreng dan tepung terigu juga ikut naik.
Meski harga kedelai maupun bahan penunjang produksi lainya naik, Puji menjelaskan, nilai jual setiap bungkusnya tetap sama yakni Rp 6.500 per bungkus.
Bertahannya harga tersebut karena pihak pengepul berbagai kota seperti Madiun, Lamongan, Bojonegoro, Semarang dan Yogjakarta menolak jika harga setiap bungkusnya dinaikan.
Sehingga sebagai pengrajin sendiri harus kehilangan omzet karena tidak sebanding dengan biaya produksi. Keluh kesah juga dirasakan pengrajin keripik tempe lainya seperti yang dirasakan Suhartini.
Untuk bisa bertahan ditengah harga kedelai tidak menentu dirinya hanya memproduksi jika ada order datang.
“Kalau saya sendiri baru memproduksi keripik seperti ini jika ada yang memesan, kalau tidak ada yang pesan ya tidak membuat jadi untuk harga sendiri bisa diseimbangkan,” terang Suhartini. (pr)
0 comments:
Posting Komentar
Terima-kasih atas partisipasi anda