media online pemberitaan kabupaten ngawi
Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 29 Oktober 2024

Home > > Sumpah Pemuda: Mengembalikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Perjuangan Budaya

Sumpah Pemuda: Mengembalikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Perjuangan Budaya

Sumpah Pemuda: Mengembalikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Perjuangan Budaya

SN-Media™ Kata Pengantar – “Sumpah Pemuda sebagai tonggak penting bagi Bangsa Indonesia. Maka persolan kebudayan-kesenian tidak hanya milik seniman-sastrawan, demikian pula urusan politik dan pemerintahan juga tidak hanya monopoli politikus, eksekutif dan legislatif tetapi juga membuka pintu pemikiran dari seniman dan budayawan.”

Bagi manusia, membuat dan menciptakan simbol merupakan proses berpikir yang fundamental yang berlangsung sepanjang waktu. Proses simbolik terdapat pada semua tingkat peradaban manusia, dari yang paling sederhana sampai pada tingkat peradaban paling canggih, karena simbol pada dasarnya adalah hasil rekaman otak manusia atas pengalaman-pengalamannya, dan oleh otak, pengalaman-pengalaman tersebut dapat diterjemahkan menjadi simbol-simbol. 

Susanne K. Langer memilah simbol menjadi dua macam: simbol presentasional dan simbol diskursif. Simbol presentasional dengan spontan menghadirkan apa yang dikandungnya, misalnya: alam, pahatan, warna, dan sebagainya. Makna dari simbol ini ditangkap melalui hubungan antar elemen-elemen simbol dalam struktur keseluruhan. Sedangkan simbol diskursif merupakan simbol yang dalam penangkapannya memerlukan intelektual dan tidak secara spontan, tetapi berurutan. 

Simbol diskursif mempunyai sistem tertentu yang dibangun oleh unsur-unsur menurut aturan perhubungan tertentu sebelum memahami maknanya. Bentuk simbol diskursif yang paling lekat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa. Sebagai sebuah simbol diskursif, bahasa mempunyai konstruksi yang tersusun menurut aturan sintaksis dan gramatikal tertentu. 

Dikatakan oleh Hayakawa bahwa bahasa adalah bentuk simbol yang paling canggih, paling halus, dan paling lengkap. Dengan bahasa, manusia mampu melakukan tiga hal yang sangat esensial dalam hidupnya. Pertama, dengan bahasa, manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya. Kedua, bahasa merupakan landasan utama pada makna gambaran mental internal manusia yang ditata dalam proses yang disebut berpikir. Dan ketiga, bahasa memungkinkan manusia terlibat dalam proses interaksi sosial, perubahan sosial, dan pembentukan cita-cita perubahan sosial dan budaya. Karena itu—meminjam istilah Ariel Haryanto—bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan oleh sejarah sosial, tetapi juga membentuk dan menentukan sejarah sosial. 

Berkaitan dengan fungsi bahasa dalam proses interaksi dan perubahan sosial, bahasa menyimpan daya pembebasan dan revolusioner. Bahasa dan sastra sebagai anak kandungnya, selain mempunyai dimensi emasipatoris dan transformatif, juga harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat netral dan bebas nilai. Bahasa bisa menjadi jahat dan buruk kalau diarahkan sebagai media penindasan kesadaran manusia, baik secara terang-terangan atau tersirat, demikian juga sebaliknya. 

Sejarah mencatat bagaimana bahasa dimanfaatkan oleh berbagai rezim yang otoriter demi ambisi kekuasaan. Plato, konon pernah berkata, "Kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa dapat menjadi kacau balau karena bahasa akan memanipulasi realitas sosial-politis." Pada situasi yang dikatakan oleh Plato tersebut, bahasa telah mengalami polarisasi yang sebenarnya tidak bermula dari bahasa itu sendiri, tetapi bersumber dari faktor eksternal, yakni realitas pergolakan sosial-politis. 

Pada masa awal pertumbuhan bahasa-sastra Indonesia, melalui Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Poestaka, Pemerintah Kolonial Belanda mencoba meng-counter tumbuhnya "bacaan-bacaan liar" yang dapat membahayakan stabilitas pemerintahan dengan menerbitkan buku-buku dengan sensor yang lumayan ketat. Terbitlah roman-roman Balai Poestaka yang hampir semua mengangkat tema perlawanan kaum muda terhadap kaum tua atau akar tradisi lama. 

Tradisi lama dengan kawin paksa dan kaum tua yang dipresentasikan melalui sosok Datuk Maringgih—tua bangka, kejam, bopeng-bopeng, buruk rupa, dan buruk hati—dibandingkan bahkan dibenturkan dengan sosok Syamsul Bachri, modernitas muda yang gagah, tampan, dan penuh kobaran asmara. Pembaca pun terluka dan menitikan air mata bagi Syamsul Bachri. 

Pengkhianatan Syamsul Bachri dengan menjadi tentara penjajah yang memerangi rakyat kampungnya sendiri nyaris dilupakan pembaca, demikian pula heroisme Datuk Maringgih yang berani berhadapan dengan Belanda menjadi tak bernilai. Pembaca tergelontor perasaan romantisme sentimental sehingga melupakan "kesakitannya" sendiri yang hidup sebagai anak jajahan. 

Setelah era Balai Pustaka, macetnya perjuangan politik dan perjuangan melalui kekuatan militer membuat perjuangan kebudayaan melalui bahasa dan sastra dapat menjadi alternatif yang efektif. Sejarah kita mencatat, ketika perjuangan politik dan bersenjata macet, tercipta "persinggahan" kebudayaan antara para politisi dengan kalangan seniman-budayawan. 

Dalam pertemuan-pertemuan ini, para politisi bangsa mendapat penajaman dimensi budaya dalam langkah dan visi politik mereka, sementara para budayawan dan seniman memperoleh penajaman dimensi politik pada kerja dan visi budaya mereka. Lahirlah kesepakatan “Soempah Pemoeda” yang sebelumnya telah dicorongkan oleh M. Yamin dan Roestam Efendi melalui puisi-puisi mereka yang tak lagi berbicara Andalas sebagai tanah tumpah darahku tapi Indonesia tumpah darahku. 

Perjuangan politik dan kebudayaan melalui bahasa-sastra menemukan puncaknya dengan munculnya perdebatan untuk menggagas arah kebudayaan Indonesia yang dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”. Terjadi perdebatan dan diskusi yang cukup lapang antara kamum muda dan kaum tua. Tidak ditemukan lagi kaum tua dan tradisi yang dihujat seperti dalam Balai Poestaka. Kaum muda seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Armyn Pane dengan penuh semangat dapat berdebat panjang bahkan berpolemik dengan kaum tua seperti Ki Hajar Dewantoro dan Prof. Ngabei Poerbatjaraka dengan nyaman dan intelektual dalam bingkai semangat menuju kebudayaan baru Indonesia yang lebih baik. 

Keakraban antara politik dan kebudayaan masa itu dapat melahirkan berbagai representasi revolusi Indonesia dalam sastra yang kadang-kadang menampilkan perjuangan revolusi atau perjuangan bersenjata tidak “sesakti” dan “sehebat” cerita perjuangan dalam pelajaran sejarah. Maka dapat ditemui Guru Isa yang impoten dan penakut berhadapan dengan perang dalam Jalan Tak Ada Ujungnya Moctar Lubis. 

Dalam novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dapat ditemui keluarga yang rumah tangganya hancur lebur dimana seorang anak dapat tega menghabisi saudaranya bahkan bapaknya demi masa depan yang lebih baik bernama Indonesia. Bahkan ketika pertempuran Surabaya berkobar-kobar, Idrus merepresentasikannya dengan nada parodi dan satire, dimana para pejuang digambarkan sebagai cowboy-cowboy yang memuja senjata, sok jagoan dan ceroboh. 

Namun penggambaran perjuangan bersenjata versi sastrawan ini tidak pernah memicu para pemuka militer atau politikus untuk gelap mata, melakukan pembreidelan dan membakar buku Idrus, keakraban politik dengan dunia seni budaya telah menumbuhkan pula sense kehalusan budi dan rasa. Pergaulan dunia politik, seni dan budaya yang akrab membuat ruang kritis dan nalar budi untuk terbuka lebih lebar. 

Waktu berlalu, kini sembilan puluh enam tahun setelah Sumpah Pemuda dan Polemik Kebudayaan, keakraban kalangan politik dengan kalangan budayawan makin lama kian merenggang. Dunia politik kian lama sepenuhnya menjadi urusan politik, sementara dunia seni diandaikan sepenuhnya menjadi urusan seniman dan budayawan. Hasil-hasil kesenian perlahan-lahan justru ditangani secara politis dan renungan-renungan budaya mulai dipolitisir. Tak pernah ada lagi pemuka-pemuka politik menulis kritis dan tanggapan terhadap kebudayaan atau karya seni, dan sebaliknya nyaris tak pernah ada lagi seniman atau budayawan datang kepada pemuka politik mengajukan kritik dan tanggapan politis. 

Kini sembari memperingati Sumpah Pemuda sebagai tonggak penting bagi embrio sebuah nation bernama Indonesia ini, betapa indahnya bila dapat diulang kembali sejarah manis yang pernah tercatat. Persolan kebudayan-kesenian menjadi milik bersama tidak hanya milik seniman-sastrawan tetapi juga milik politikus, eksekutif juga legislatif demikian pula sebaliknya urusan politik, pemerintahan tidak hanya monopoli politikus, eksekutif dan legislatif tetapi juga membuka pintu pemikiran dari seniman dan budayawan.  

Simak Berita Menarik Lainnya di: Google News dan Chanel Whatsapp 

Penulis adalah sastrawan dan kepala sekolah. Alumnus Program Doktoral Universitas Sebelas Maret Solo (UNS).Tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Editor : ****
Foto : Ilustrasi


TJAHJONO WIDIJANTO Penyair Nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kab. Ngawi periode 202-2025. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya berupa kumpulan puisi, kumpulan esai dan kritik sastra, esai sosial budaya, dan cerpen, terbit sejak tahun 1990 hingga sekarang. Diundang dalam berbagai acara sastra, a.l:, Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004), memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival 2009), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Pusat Bahasa (2011), Penghargaan Seniman (Sastrawan) Gubernur Jawa Timur (2014) dan Penghargaan Sutasoma (Balai Bahasa Jawa Timur, 2019) Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (2009), dll. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.


Berita Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Terima-kasih atas partisipasi anda